Genre berarti jenis atau ragam, merupakan istilah yang
berasal dari bahasa Perancis. Kategorisasi ini terjadi dalam bidang
seni-budaya seperti musik, film serta sastra. Genre dibentuk oleh konvensi yang
berubah dari waktu ke waktu. Dalam kenyataannya bahwa setiap genre
berfluktuasi dalam popularitasnya dan akan selalu terikat erat pada
faktor-faktor budaya.
Namun, mengapa penonton film bisa menikmati konvensi yang sama berulang-ulang?
Jawabnya menurut banyak cendekiawan film adalah bahwa genre merupakan drama
ritual kehidupan manusia yang menyerupai perayaan hari besar atau upacara
yang dapat memuaskan hasrat mereka karena unsur-unsurnya dapat menegaskan
kembali nilai-nilai budaya dengan sedikit variasi.
Dalam film, terutama film cerita banyak sekali genre yang sudah dikenal oleh
masyarakat seperti melodrama, western, gangster, horor, science fiction
(sci-fi), komedi, action, perang, detektif dan sebagainya. Namun dalam
perjalanannya, genre-genre film tersebut sering dicampur satu sama lain (mix
genre) seperti horor-komedi, western-komedi, horror-science fiction dan
sebagainya. Selain itu genre juga bisa masuk ke dalam bagian dirinya yang lebih
spesifik yang kemudian dikenal dengan sub-genre, contohnya dalam genre komedi
dikenal sub-genre seperti screwball comedy, situation comedy (sit-com),
slapstick, black comedy atau komedi satir dan sebagainya.
Demikian pula dalam film dokumenter, mencuplik dari buku yang berjudul
Dokumenter : Dari Ide Sampai Produksi, Gerzon R. Ayawaila membagi genre menjadi
dua belas jenis. Akan tetapi menurut penulis beberapa jenis film dokumenter
yang ada di dalam buku tersebut sebenarnya bisa dikelompokkan lagi.
1. LAPORAN PERJALANAN
Jenis ini awalnya adalah dokumentasi antropologi dari para ahli etnolog atau
etnografi. Namun dalam perkembangannya bisa membahas banyak hal dari yang
paling penting hingga yang remeh-temeh, sesuai dengan pesan dan gaya yang
dibuat. Istilah lain yang sering digunakan untuk jenis dokumenter ini
adalah travelogue, travel film, travel documentary dan adventures film.
Film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty oleh banyak pengamat
dianggap sebagai film perjalanan yang awal. Dibuat selama satu tahun penuh oleh
Flaherty dibuat walaupun sebenarnya film ini hanya menceritakan aktivitas
Nanook dan keluarganya (perdagangan, berburu, memancing dan migrasi dari suatu
kelompok hampir tidak tersentuh oleh industri teknologi).
John Grierson pernah membuat sebuah film berjudul Song of Ceylon yang merupakan
laporan perjalanannya di negeri yang sekarang bernama Sri Lanka.
Disutradari oleh Basil Wright, film ini terbagi menjadi empat sequence,
pertama tentang Buddha dan penganutnya, di mana diperlihatkan kehidupan
keagamaan serta perjalanan ummat ke keindahan pulau dan aktivitas
penghuningnya, menceritakan tentang wilayah yang sekarang dikenal dengan Sri
Lanka. Bagian pertama menggambarkan kehidupan keagamaan Sinhala, yang dipadu
dengan ritual Buddha serta keindahan alam di sana. Dibuka dengan serangkaian
alat logam di atas daun kelapa, kita kemudian secara bertahap diajak melihat
perjalanan orang-orang ke Bukit Adam – pusat ziarah umat Buddha selama lebih
dari dua ratus tahun – yang kemudian diintercut dengan gambar-gambar alam
sekitarnya serta serangkaian patung Buddha. Bagian dua memfokuskan pada kehidupan
kerja Sinhala, dalam sequence ini Basil Wright menekankan hubungan intim
mereka dengan lingkungan sekitarnya dengan memperlihatkan penduduk yang membuat
tembikar, ukiran kayu dan sedang membangun rumah, sementara anak-anak bermain.
Bagian ketiga dari film ini memperkenalkan kedatangan sistem komunikasi modern
ke dalam gaya hidup ‘alami’ dan di bagian terakhir dari film ini, kita kembali
ke kehidupan keagamaan Sinhala di mana orang berpakaian mewah untuk
melakukan tarian ritual.
Sekarang ini banyak televisi yang membuat program dengan pendekatan dokumenter
perjalanan, misalnya Jelajah (Trans TV), Jejak Petualang (TV7/Trans7), Bag
Packer (TVOne) dan sebagainya, bahkan di beberapa televisi berbayar membuat
saluran televisi khusus laporan perjalanan seperti Travel and Living.
Dikarenakan penayangannya di televisi, maka kedalaman permasalahannya
sangat disesuaikan dengan kebutuhan televisi.
2. SEJARAH
Dalam film fiksi, tema sejarah pernah menjadi sebuah pencapaian estetika yang
tinggi ketika Sergei Eisenstein dan Alexandre Dovzhenko membuat film–film yang
banyak mengangkat latar belakang cerita dari tirani kekuasaan Tsar Nicholas II
serta perebutan kekuasaan dari status quo oleh kaum komunis. Pada tahun
1976, Alan J. Pakula juga pernah mengangkat penyelidikan (investigasi) skandal
Watergate di Amerika Serikat oleh dua orang wartawan Washington Post, Carl
Bernstein dan Bob Woodward.
Dalam film dokumenter, genre sejarah menjadi salah satu yang sangat kental
aspek referential meaning-nya (makna yang sangat bergantung pada referensi
peristiwanya) sebab keakuratan data sangat dijaga dan hampir tidak boleh ada
yang salah baik pemaparan datanya maupun penafsirannya. Tidak diketahui
sejak kapan dokumenter sejarah ini digunakan, namun pada tahun 1930-an Rezim Adolf
Hitler telah menyisipkan unsur sejarah ke dalam film-filmnya yang memang lebih
banyak bertipe dokumenter. Khususnya film-film yang disutradarai oleh
Leni Refensthal seperti Triumph of the Will (1934), Olympia I : Festival of
Nations (1937) & Olympia II : Festival of Beauty (1938). Pada awal
film Olympia I divisualisasikan tentang bangsa Aria di masa lalu sedang
melakukan oleh raga seperti lari, lempar lembing, lempar cakram dan sebagainya.
Sedangkan tahun 1955, Alain Resnais membuat film Night and Fog yang mencengangkan
dunia pada masa itu sebab ia menggambarkan bagaimana terjadinya genosida kaum
Yahudi oleh tentara Nazi dalam sebuah kamp konsentrasi.
Pada masa sekarang, film sejarah sudah banyak diproduksi karena terutama karena
kebutuhan masyarakat akan pengetahuan dari masa lalu. Tingkat pekerjaan
masyarakat yang tinggi sangat membatasi mereka untuk mendalami pengetahuan
tentang sejarah, hal inilah yang ditangkap oleh televisi untuk memproduksi
film-film sejarah. Sekarang ini di Metro TV sering ditayangkan Metro Files,
program dokumenter yang mengupas sejarah yang tidak terungkap di Indonesia.
Dalam beberapa tayangannya sempat membahas tentang budaya Tionghoa di Jakarta
(Batavia) dalam judul Merah Hitam di Batavia, pengupasan kepahlawanan Dr.
Johannes Leimena, seorang negarawan yang gigih dan memberi kontribusi terhadap
berdirinya puskesmas dalam judul Mutiara dari Timur, serta tentang tokoh
pergerakan bangsa yang berjuang melalui pendidikan dalam Lentera Bangsa.
3. POTRET / BIOGRAFI
Sesuai dengan namanya, jenis ini lebih berkaitan dengan sosok seseorang. Mereka
yang diangkat menjadi tema utama biasanya seseorang yang dikenal luas – di
dunia atau masyarakat tertentu – atau seseorang yang biasa namun memiliki
kehebatan, keunikan ataupun aspek lain yang menarik. Ada beberapa istilah yang
merujuk kepada hal yang sama untuk menggolongkannya. Pertama, potret yaitu film
dokumenter yang mengupas aspek human interest dari seseorang. Plot yang diambil
biasanya adalah hanya peristiwa–peristiwa yang dianggap penting dan
krusial dari orang tersebut. Isinya bisa berupa sanjungan, simpati, krtitik
pedas atau bahkan pemikiran sang tokoh. Misalnya saja film Fog of War (2003)
karya Errol Morris yang menggambarkan pemikiran strategi hidup dari Robert S.
McNamara, mantan Menteri Pertahanan di masa pemerintahan Presiden John. F
Kennedy dan Presiden Lyndon Johnson. Selain itu ada beberapa film yang berwujud
potret seperti Salvador Dali: A Soft Self-Portrait (1970) karya Jean-Christophe
Averty, Maria Callas: La Divina – A Portrait (1987) karya Tony Palmer, Zidane :
A 21st Century Portrait (2006) yang disutradarai Douglas Gordon serta
Phillipe Parreno dan lain sebagainya.
Kedua, biografi yang cenderung mengupas secara kronologis dari yang secara
garis penceritaan bisa dari awal tokoh dilahirkan hingga saat tertentu (masa
sekarang, saat meninggal atau saat kesuksesan sang tokoh) yang diinginkan oleh
pembuat filmnya. Film The Day After Trinity (1981) karya Jon
Else adalah salah satunya. Film ini berkisah tentang seputar bom atom yang
diciptakan oleh Robert Oppenheimer dan penyesalannya terhadap penyalahgunaan
teknologi itu untuk membombardir Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Metro TV
dalam Metro Files-nya pernah mengulas tentang perjuangan Laksamana Muda John
Lie yang memperjuangkan Indonesia dari laut di mana pada saat itu banyak orang
masih bergunjing tentang pribumi dan keturunan.
Ketiga, profil. Sub-genre ini walaupun banyak persamaannya namun memiliki
perbedaan dengan dua di atas terutama karena adanya unsur pariwara
(iklan/promosi) dari tokoh tersebut. Pembagian sequence-nya hampir tidak
pernah membahas secara kronologis dan walaupun misalnya diceritakan tentang
kelahiran dan tempat ia berkiprah, biasanya tidak pernah mendalam atau
terkadang hanya untuk awalan saja. Profil umumnya lebih banyak membahas
aspek–aspek ‘positif ’ tokoh seperti keberhasilan ataupun kebaikan yang
dilakukan. Film–film seperti ini dibuat oleh banyak orang di Indonesia terutama
saat kampanye pemilu legeslatif ataupun pemilukada (pemilihan umum kepala daerah).
Akan tetapi sub-genre profil ini tidak berhenti pada orang / masuia namun bisa
juga sebuah badan (institusi) seperti perusahaan, lembaga pendidikan,
organisasi masyarakat, organisasi politik dan sebagainya yang lebih dikenal
dengan sitilah profil niaga atau company profile. Film profil tentang
perusahaan awal sekali dibuat tahun 1906 oleh perusahaan film Cricks and Martin
Films dengan filmnya A Visit to Peek Frean and Company’s Biscuit Factory,
film ini memaparkan proses pembuatan, pengemasan hingga pendistribusian
biskuit di sebuah pabrik. Namun film profil perusahaan yang awal sekali
dibuat adalah pesanan perusahaan Imperial Airways yang disutradarai oleh
Paul Rotha dengan judul Contact (1933). Pada masa sekarang, profil
perusahaan lebih sering dibuat terutama untuk mengiklankan perusahaan itu
sendiri.
Film Dokumenter mempromosikan Imperial Airways yang difokuskan pada tahapan
perjalanan udara. Kebanyakan adegannya menampilkan gambar–gambar udara yang
diambil dari pesawat terbang.
Paul Rotha sebenarnya adalah kritikus film dan sebelum film pertamanya Contact
pada tahun 1929 tulisannya yang berjudul The Film Till Now sangat berpengaruh
pada masa itu. sebelum ia membuat film pertamanya Kontak di 1933. Bahkan
ia sempat bergabung dengan gerakan film dokumenter yang dipimpin John Grierson.
Film Contact dibuat terlepas dari grakan tersebut sebab diproduksi oleh British
Instructional Films dan dibiayai oleh Imperial Airways.
Film ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menunjukkan para
pekerja dalam yang sedang bekerja pada konstruksi pesawat terbang sampai
pesawat–pesawat itu siap diterbangkan. Bagian dua menunjukkan pesawat
yang melakukan perjalanan ke seluruh dunia. Adegan awal dibuka dengan
adegan yang diolah secara eksperimental yaitu menggunakan montage cepat
dari berbagai alat transportasi. Montage ini berfungsi sebagai transisi
untuk masuk pada transportasi pesawat yang dipandang sebagai keajaiban baru
dalam teknologi transportasi. Setelah itu masuk ke adegan perakitan pesawat
di mana Rotha melakukan percobaan dengan menggunakan teknik blur dan fokus
lensa secara bergantian antara mesin dan mesin. Teknik ini
merupakan proses konstruksi dan menyoroti hubungan intim antara manusia dan
mesin. Bahkan gambar–gambar berikut memperlihatkan bandara sedang
dibangun serta orang-orang naik pesawat.
Diperlihatkan sebuah penerbangan rute trans-Atlantik ini dan pace dari
editingnya lebih lambat dari adegan sebelumnya. Di tengah perjalanan,
penonton diperlihatkan sejumlah gambar yang diambil dari pesawat ketika rutenya
memasuki wilayah Afrika Utara dan Eropa Selatan seperti Nairobi, Athena dan
Kairo. Penonton disuguhi adalah landmark yang dikenal di dunia dan
gambar–gambar tersebut diambil dari jendela kecil yang bisa digeser yang
berada di dalam kokpit pesawat. Seperti di banyak film dokumenter,
keterpaduan alam dan teknologi disajikan dalam adegan–adegan ini dan
kemajuan teknologi dipandang sebagai proses kelahiran visual yang baru dan
menarik.
Pada bagian kedua dari film ini mengajak penonton kembali lagi ke adegan awal
film tersebut yaitu perjalanan kereta api, namun pada bagian kedua ini lebih
digunakan untuk menghasilkan gambar yang indah. Gambar–gambar tersebut
seolah seperti memanfaatkan film sebagai sarana perjalanan virtual.
Contact, juga, menggabungkan unsur–unsur sinema dan transportasi udara
untuk menciptakan kemungkinan–kemungkinan visual yang baru. Film
tersebut akhirnya tidak hanya mempromosikan perjalanan udara, tetapi juga
menjadi simulasi perjalanan udara bagi warga yang tidak memiliki uang untuk
bisa naik pesawat udara.
4. NOSTALGIA.
Film–film jenis ini sebenarnya dekat dengan jenis sejarah, namun biasanya
banyak mengetengahkan kilas balik atau napak tilas dari kejadian–kejadian dari
seseorang atau satu kelompok. Pada tahun 2003, Rithy Panh membuat
S21: The Khmer Rouge Death Machine di mana ia mendatangkan beberapa orang yang
merupakan dua pihak dari kekejaman Khmer Merah, baik dari pihak korban maupun
para penyiksa di masa lalu.
Diceritakan Vann Nath dan Chum Mey, dua korban yang selamat dari Penjara Khmer
Merah, Tuol Sleng. Mereka bertemu kembali dan kembali ke bekas penjara yang
sekarang menjadi museum di Phnom Penh. Bahkan mereka bertemu mantan penculik
mereka, baik bekas penjaga, bekas interogator, seorang dokter dan seorang fotografer.
Banyak di antara mereka yang masih berusia remaja selama era Khmer Merah
berkuasa (1975-1979). Penampilan mereka sangat kontras dengan dua mantan
tahanan yang keduanya pria tua, bhkan rambut VannNath sudah banyak yang putih
Para mantan penjaga dan interogator memberikan tur museum, mereka menjelaskan
kembali perlakuan mereka terhadap para tahanan. Mereka memperlihatkan kembali
dokumentasi yang sangat rinci tentang penjara tersebut, baik dalam bentuk
catatan–catatan bahkan foto. Hal ini untuk menyegarkan kembali ingatan
mereka tentang peristiwa pada masa itu. Pada satu titik, Vann Nath langsung
dihadapkan dengan mantan penculiknya. Para mantan interogrator itu juga merasa
bahwa diri mereka adalah korban, sebab pilihan menjadi tentara saat usia mereka
sangat muda merupakan paksaan dari pemerintah.
5. REKONSTRUKSI
Dokumenter jenis ini mencoba memberi gambaran ulang terhadap peristiwa yang
terjadi secara utuh. Biasanya ada kesulitan tersendiri dalam
mempresentasikannya kepada penonton sehingga harus dibantu rekonstruksi
peristiwanya. Perisitiwa yang memungkinkan direkonstruksi dalam film-film jenis
ini adalah peristiwa kriminal (pembunuhan atau perampokan), bencana (jatuhnya
pesawat dan tabrakan kendaraan), dan lain sebagainya. Contoh film jenis ini adalah
Jejak Kasus, Derap Hukum dan Fokus.
Rekonstruksi yang dilakukan tidak membutuhkan mise en scene (pemain, lokasi,
kostum, make-up dan lighting) yang persis dengan kejadiannya, sehingga sangat
berbeda doku-drama yang memang membutuhkan keotentikan yang tinggi. Yang
hendak dicapai dari rekonstruksi di sini adalah sekedar proses terjadinya
peristiwanya itu. Dalam membuat rekonstruksi, bisa dilakukan dengan shoot live
action atau bisa juga dibantu dengan animasi.
National Geographic Channel dalam seri televisinya pernah membuat Locked-Up
Abroad yang umumnya bercerita penangkapan yang berlatar belakang narkoba,
terorisme hingga permasalah lain. Permasalahannya penangkapan tersebut
dilakukan di luar negara tokoh dalam film tersebut sehingga membuat persoalannya
menjadi semakin rumit. Dalam tayangan tersebut, konstruksi biasanya digunakan
untuk menggambarkan kejadian–kejadian yang dialami tokoh yang bercerita dalam
tayangan tersebut.
6. INVESTIGASI
Jenis dokumenter ini memang kepanjangan dari investigasi jurnalistik. Biasanya
aspek visualnya yang tetap ditonjolkan. Peristiwa yang diangkat merupakan
peristiwa yang ingin diketahui lebih mendalam, baik diketahui oleh publik
ataupun tidak. Umpamanya korupsi dalam penanganan bencana, jaringan
kartel atau mafia di sebuah negara, tabir dibalik sebuah peristiwa pembunuhan,
ketenaran instan sebuah band dan sebagainya. Peristiwa seperti itu ada yang
sudah terpublikasikan dan ada pula yan belum, namun persisnya seperti apa bisa
jadi tidak banyak orang yang mengetahui.
Terkadang, dokumenter seperti ini membutuhkan rekonstruksi untuk membantu
memperjelas proses terjadinya peristiwa. Bahkan di beberapa film aspek
rekonstruksinya digunakan untuk menggambarkan dugaan-dugaan para subjek di
dalamnya. Misalnya yang dilakukan oleh Errol Morris dalam filmnya The Thin Blue
Line, rekonstruksi digunakan untuk memperlihatkan seluruh kemungkinan dan detil
peristiwa yang terjadi saat itu, misalnya merk mobil, bentuk lampu, jarak
pandang dan sebagainya.
7. PERBANDINGAN & KONTRADIKSI
Dokumenter ini mentengahkan sebuah perbandingan, bisa dari seseorang atau
sesuatu seperti film Hoop Dreams (1994) yang dibuat oleh Steve James. Selama
empat tahun, ia mengikuti perjalanan dua remaja Chicago keturunan Afro-America,
William Gates dan Arthur Agee untuk menjadi atlit basket profesional.
Michael Moore dalam Sicko (2007) membandingkan kebijakan dan pelayanan
kesehatan di Amerika Kesehatan dengan tiga negara maju lainnya, yaitu Kanada,
Inggris dan Perancis serta satu negara berkembang yang justru tetangga Amerika
Serikat sendiri yaitu Kuba. Hasilnya ternyata Amerika Serikat sangat jauh
tertinggal dalam pelayanan kesehatan bahkan antara orang yang punya asuransi
dan yang tidak memiliki asuransi hampir tidak ada bedanya sebab pada akhirnya
uang asuransi mereka juga sulit keluar sehingga mereka harus membayar sendiri
biaya dokter atau rumah sakitnya. Negara pembandingnya sangat-sangat
menyejahterakan penduduknya, bahkan di Kuba, orang yang sakit hanya ditanya
nama dan usia – sama sekali tidak ditanya warga negara atau bukan – saat
mendaftar ke klinik atau rumah sakit yang kemudian setelah itu pada pasien
tersebut ditunjuk seorang dokter dan seorang perawat yang akan mengurusnya.
Sedangkan di Amerika Serikat sendiri seorang pasien yang membutuhkan pelayanan
kesehatan di rumah sakit atau klinik harus menunggu hingga belasan jam bahkan
sampai berhari–hari.
8. ILMU PENGETAHUAN
Film dokumenter genre ini sesungguhnya yang paling dekat dengan masyarakat
Indonesia, misalnya saja pada masa Orde Baru, TVRI sering memutar program
berjudul Dari Desa Ke Desa ataupun film luar yang banyak dikenal dengan nama
Flora dan Fauna. Tapi sebenarnya film ilmu pengetahuan sangat banyak
variasinya lihat saja akhir tahun 1980-an ketika RCTI (pada masa itu masih
menjadi televisi berbayar) memutar program Beyond 2000, yaitu film ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan teknologi masa depan. Saat itu beberapa
kalangan cukup terkejut sebab pengetahuan yang mereka dapatkan berbeda dari
dokumenter yang mereka lihat di TVRI. Jenis ini bisa terbgai menjadi
sub-genre yang sangat banyak :
A. Film Dokumenter Sains
Film ini biasanya ditujukan untuk publik umum yang menjelaskan tentang suatu
ilmu pengetahuan tertentu misalnya dunia binatang, dunia teknologi, dunia
kebudayaan, dunia tata kota, dunia lingkungan, dunia kuliner dan sebagainya.
Pada beberapa televisi berbayar bahkan beberapa dari yang sudah tersebut di
atas telah dibuatkan saluran khusus seperti National Geographic Wild atau
Animal Planet yang tentu saja membahas tentang dunia binatang; Asian Food
Channel yang banyak mengetengahkan film instruksional dan dokumenter tentang
makanan serta dunia di sekitarnya; Home and Health yang membahas masalah
kesehatan dalam kehidupan kita; bahkan ada saluran khusus yang membahas tentang
dunia mobil, kapal dan pesawat yaitu Discovery Turbo.
B. Film Instruksional
Film ini dirancang khusus untuk mengajari pemirsanya bagaimana melakukan
berbagai macam hal mereka ingin lakukan, mulai dari bermain gitar akustik atau
gitar blues pada tingkat awal, memasang instalasi listrik, penanaman bungan
yang dijamin tumbuh, menari perut untuk menurunkan berat badan, bermain rafting
untuk mengarungi arung jeram dan sebagainya. Bahkan ada beberapa film
instruksional yang bertujuan lebih serius, seperti bagaimana menjaga pola
untuk hidup lebih lama dan lebih kuat dari HIV / AIDS atau seperti yang banyak
berkembang saat ini video motivasi tentang meningkatkan kualitas hidup.
9. BUKU HARIAN (DIARY)
Seperti halnya sebuah buku harian, maka film ber–genre ini juga mengacu pada
catatan perjalanan kehidupan seseorang yang diceritakan kepada orang lain.
Tentu saja sudut pandang dari tema–temanya menjadi sangat subjektif sebab
sangat berkaitan dengan apa yang dirasakan subjek pada lingkungan tempat dia
tinggal, peristiwa yang dialami atau bahkan perlakuan kawan–kawannya terhadap
dirinya. Dari segi pendekatan film jenis memiliki beberapa ciri, yang pada
akhirnya banyak yang menganggap gayanya konvensional. Struktur ceritanya
cenderung linear serta kronologis, narasi menjadi unsur suara lebih
banyak digunakan serta seringkali mencantumkan ruang dan waktu kejadian yang
cukup detil, misalnya Rumah Dadang, Jakarta. Tanggal 7 Agustus 2011, Pukul
13.19 WIB. Pada beberapa film, jenis diary ini oleh pembuatnya
digabungkan dengan jenis lain seperti laporan perjalanan (travel-doc) ataupun
nostalgia.
Salah satu film yang dianggap film berjenis buku harian adalah A Diary for
Timothy (1945) adalah film dokumenter Inggris yang disutradarai
oleh Humphrey Jennings. Diproduseri Basil Wright untuk Crown Film
Unit. Narasinya dibuat oleh pengarang roman Inggris, E. M. Forster, sedangkan
Michael Redgrave didaulat sebagai naratornya. Ceritanya tentang perkembangan
seorang bayi pada enam bulan pertama selama Perang Dunia II. Diperlihatkan juga
proses penyembuhan seorang pilot yang patah kakinya serta seorang penambang
yang sedang patah tangannya. Dalam film dokumenter yang dibuat tentang Jennings
untuk Televisi Channel 4 yang disutradarai oleh Kevin MacDonald pada tahun
2000, diketahui bahwa bayi yang menjadi subjek film (Timothy James Jenkins)
pindah ke Brighton sekitar 1960–an dan berpenampilan
modis sebelum akhirnya menjadi guru dan meninggal dunia pada November
2000.
Film lainnya adalah Ito – A Diary of an Urban Priest yang dibuat dengan latar
Kota Tokyo dan menceritakan tentang Yoshinobu Fujioka, biksu muda yang memiliki
gairah tinggi dalam mencari makna kehidupan ditengah–tengah mimpi
yang ‘menindas’, di dalam lorong–lorong kota serta dalam kegelapan
pikiran manusia. Yoshinobu sempat mendengarkan pengakuan para perempuan yang di
penjara, di bar–bar dan bahkan di sebuah rumah geisha yang sudah tua. Hal
tersebut dilakukannya ketika banyak banyak lapisan manusia yang hidup di malam
hari di belantara Kota Tokyo serta ingatan–ingatan yang tak terduga yang berubah
menjadi jejaring kehidupan yang memaksa orang–orang saling bertatap
muka satu dengan lainnya. Mimpi, realitas and khayalan bercampur menjadi satu
dalam pelajaran kompleksitas pikiran manusia yan membawa penontonnya ke dalam
eksplorasi ingatan saat berhadapan dengan diri mereka sendiri dan orang
lain.
10. MUSIK
Genre musik memang tidak setua genre yang lain, namun pada masa 1980 hingga
sekarang, dokumenter jenis ini sangat banyak diproduksi. Memang salah
satu awalnya muncul ketika Donn Alan Pannebaker membuat film – film yang
sebenarnya hanya mendokumentasikan pertunjukkan musik. Misalnya ketika membuat
Don’t Look Back yang menggambarkan seorang seniman muda berusia 23 tahun
bernama Bob Dylan. Sekarang ini ia lebih dikenal sebagai penyanyi lagu–lagu
balada. Pada musim semi 1965 , Bob Dylan menghabiskan tiga minggu di
Inggris. Dengan kameranya, Don Pennebaker mengikuti seniman tersebut dari
bandara ke tempat ia menyanyi, dari
HOTEL ke
balai rakyat, dari sebuah obrolan ke salah satu konsernya. Ini adalah masa di
mana Dylan beralih dari peralatan musik akustik ke peralatan musik elektrik,
sebuah transisi yang tidak semua penggemarnya suka, bahkan termasuk
pacarnya Joan Baez yang juga seorang penyanyi.
Setahun kemudian, pada tahun 1968, Donn Pannebaker membuat Monterey Pop yang
merupakan perekaman pertunjukkan Legendary California Music Festival yang
sering dianggap sebagai pra-Woodstock yang kemudian mengorbitkan beberapa
pemusik, misalnya Jimi Hendrix dan Janis Joplin, yang membuat salah satu
penyanyi Amerika yang terkenal yaitu Mama Cass dari grup The Mamas & Papas
sangat terpesona melihat penampilannya.
Setelah itu beberapa sutradara melakukan hal yang sama seperti Michael Wadleigh
yang mengabadikan pagelaran musik Woodstock dengan membuat dokumenternya dengan
judul yang sama pada tahun 1970. Hampir bersamaan waktunya konser musik
Rolling Stones juga dibuatkan dokumenternya yang berjudul Gimme
SHELTER yang
disutradarai oleh Albert Maysles, David Maysles dan Charlotte Zwerin.
Peristiwanya berlangsung pada bulan Desember 1969, empat bulan setelah
Woodstock di mana Rolling Stones dan Jefferson Airplane menggelar konser gratis
di California Utara (di sebelah timur Oakland, tepatnya di Altamont
Speedway) yang dihadiri oleh sekitar 300,000 orang. Pihak penyelenggaranya
menyewa genk motor yang terkenal di Amerika bernama Hell’s Angels yang didapuk
sebagai keamanan. Masalahnya para anggota genk tersebut membawa senjata api dan
senjata tajam sehingga selama konser berlangsung anggota Hell’s Angels
menghabiskan waktunya untuk memukuli para penonton hingga akhirnya satu orang
dinyatakan tewas. Film ini menggunakan teknik paralel editing yang disambung
berselang-seling antara konser, kekerasan yang terjadi, Grace Slick dan Mick
Jagger yang sedang berusaha menenangkan keadaan, close-up para penonton remaja
(mereka berjoget, memakai narkoba atau sedang trauma pada perlakuan Hell’s
Angel) serta pihak Rolling Stones yang sedang menonton footage konser dan
merasa prihatin.
Sejak itu banyak sekali film dokumenter bergenre musik dibuat, namun tidak
semuanya merupakan dokumentasi konser musik ataupun perjalanan tur keliling
untuk mempromosikan sebuah album. Banyak sutradara yang membuatnya lebih
dekat dengan genre lain seperti biografi, sejarah, diary dan sebagainya.
Penelope Spheeris membuat dwilogi dokumenter musik yaitu The Decline of Western
Civilization : Punk Years (1981) yang membahas terbentuk subkultur dalam musik
rock yang dikenal dengan Musik Punk. Banyak band yang terlibat dalam film ini
seperti Black Flag, Germs, X, The Bags, Circle Jerks, Catholic Discipline, Fear
dan sebagainya. Sedangkan pada tahun 1988, Spheeris meneruskan filmnya dengan
membuat yang kedua The Decline of Western Civilization II : Metal Years yang
cara penceritaannya hampir sama, hanya saja aliran musik yang diangkat dan
tentu saja pemusik serta bandnya juga berbeda. Dalam film kedua ini ia
memasukkan band ataupun penyanyi seperti Ozzy Osbourne, Aerosmith, Kiss,
Poison, Vixen, Faster Pussycat, Megadeth dan sebagainya.
11. ASSOCIATION PICTURE STORY
Jenis dokumenter ini dipengaruhi oleh film eksperimental. Sesuai dengan
namanya, film ini mengandalkan gambar–gambar yang tidak berhubungan namun
ketika disatukan dengan editing, maka makna yang muncul dapat ditangkap
penonton melalui asosiasi yang terbentuk di benak mereka. Film yang
sangat berpengaruh dalam genre ini adalah A Man With The Movie
karya Dziga Vertov.
Tahun 1951, Bert Haanstra membuat Panta Rhei (berasal dari bahasa Yunani yang
berarti “semuanya mengalir” dari ucapan Heraclitus) yang oleh banyak pengamat
film dianggap sebagai ‘latihan jari’ – nya Haanstra setelah sukses membuat
Spiegel van Holland (Mirror of Holland). Dalam Panta Rhei, Haanstra
bermain dengan keindahan gambar–gambar riak gelombang, tetesan air dari
daun, flare dari cahaya matahari, lanskap pegunungan serta hutan dan
sebagainya. Gambar–gambar tersebut disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan
asosiasi keindahan.
Pada tahun 1980-an Geodfrey Reggio memproduksi dua film yang sangat bergantung
pada kekuatan gambarnya, yaitu Koyaanisqatsi (1982) dan Powaqqatsi (1988).
Pada film pertama, tagline dari filmnya sudah sangat tegas yaitu Life out
of Balance sehingga gambar–gambar yang dibuat memang menuntun untuk penontonnya
menjadi sangat tenang karena keseimbangan hidupnya. Sedangkan Powaqqatsi
menempatkan tagline-nya adalah Life in Transformation yang menggambarkan dari
mulai eksploitasi manusia hingga perubahan zaman dengan teknologi majunya. Film
ketiga berjudul Naqoyqqatsi, dengan tagline Life as War yang diproduksi tahun
2001 dan melengkapi trilogi milik Geodfrey Reggio.
Akan tetapi film yang cukup terkenal dari genre ini adalah Baraka (1992) yang
dibuat oleh Ron Fricke yang tidak lain adalah sinematografer Geodfrey Reggio
pada film Koyanisqqatsi. Dalam Baraka, Fricke mencoba mengangkat aspek
kebudayaan manusia dari bentuk primitif hingga modern, bahkan hingga saat
manusia merusak alamnya sendiri.
12. DOKUDRAMA
Selain menjadi sub-tipe film, dokudrama juga merupakan salah satu dari jenis
dokumenter. Film jenis ini merupakan penafsiran ulang terhadap kejadian nyata,
bahkan selain peristiwanya hampir seluruh aspek filmnya (tokoh, ruang dan
waktu) cenderung untuk direkonstruksi. Ruang (tempat) akan dicari yang
mirip dengan tempat aslinya bahkan kalau memungkinkan dibangun lagi hanya untuk
keperluan film tersebut. Begitu pula dengan tokoh, pastinya akan dimainkan oleh
aktor yang sebisa mungkin dibuat mirip dengan tokoh aslinya. Contoh dari film
dokudrama adalah ini adalah JFK (Oliver Stone), G30S/PKI
(Arifin C. Noer), All The President’s Men (Alan J. Pakula) dsb.
Uniknya, di Indonesia malah pernah ada dokudrama yang tokoh utamanya dimainkan
oleh pelakunya sendiri yaitu Johny Indo karya Franky Rorimpandey.
Pada waktu itu sangat menghebohkan karena Johny Indo juga dikenal sebagai
pemain film sebelum kejadian perampokan toko emas.
CATATAN :
Pada masa sekarang ini perkembangan genre sangatlah cepat. Seperti yang sudah
disinggung pada awal pembahasan ini bahwa genre mengalami metamorfosis dengan
‘membelah-diri’ dan membentuk sub-genre, seperti genre Ilmu Pengetahuan
kemudian diketahui banyak sekali pecahannya dari mulai dunia hewan, dunia
tumbuhan, instruksional dan sebagainya. Bahkan pada beberapa sumber di
internet, bisa juga terbentuk genre baru seperti yang terjadi pada film
dokumenter yang membahas dunia hewan sering disebut dengan Animal Documentary.
Genre di dalam film dokumenter juga bisa saling bercampur, biasanya sering
disebut dengan istilah mix-genre. Saluran MTV pernah membuat program yang
berjudul Biorythm yang menggabungkan antara genre biografi, musik dan
association picture story. Sekarang ini sangat sulit membendung terbentuknya
genre–genre baru yang muncul dari genre yang sudah ada atau karena kebutuhan
lain untuk hanya untuk membedakan saja.